60DETIK – Kata-kata, seperti embun pagi, bisa menyejukkan jiwa atau meneteskan kesan yang mendalam. Namun, dalam langkah manusia, tak jarang kata meleset dari maknanya, sebagaimana terjadi pada Luqi Sa’adillah, anggota legislatif dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pernyataannya yang memplesetkan gelar Sarjana Agama (S.Ag) menjadi “Sarjana Air Galon” dalam sebuah audiensi resmi memicu diskusi hangat di masyarakat.
Kejadian ini berlangsung dalam forum pembahasan pengangkatan kembali direksi PDAM Tirta Intan Garut. Saat itu, Luqi berniat mengkritisi latar belakang akademik direksi dengan maksud mendorong pentingnya keselarasan antara bidang kerja dan keahlian. Namun, pilihan katanya dianggap kurang bijak, hingga memunculkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk akademisi, tokoh agama, dan masyarakat umum.
Menanggapi gelombang kritik yang muncul, Luqi dengan hati terbuka segera menyampaikan permintaan maaf. “Saya menyadari bahwa ucapan saya keliru. Tidak ada maksud sedikit pun untuk merendahkan gelar Sarjana Agama atau melukai siapa pun. Saya memohon maaf kepada semua pihak yang merasa tersinggung,” ucapnya dengan nada tulus.
Luqi menegaskan bahwa ia sangat menghormati gelar S.Ag sebagai simbol dedikasi dalam ilmu agama dan moralitas. Ia juga menyampaikan rasa salut kepada para pemegang gelar tersebut yang telah melalui proses pembelajaran yang penuh nilai-nilai luhur. “Ini menjadi pembelajaran besar bagi saya, untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan kritik di masa mendatang,” tambahnya.
Respon Luqi yang cepat menuai apresiasi dari beberapa tokoh masyarakat. Mereka melihat tindakan ini sebagai bentuk kesadaran dan kerendahan hati. “Luqi menunjukkan bahwa seorang wakil rakyat tidak lepas dari kekeliruan, namun berani bertanggung jawab. Ini contoh yang baik,” ujar seorang warga Garut.
Di tengah polemik, Luqi juga mengajak masyarakat untuk menjadikan kejadian ini sebagai momen refleksi bersama. Ia berharap semua pihak dapat menjaga harmoni dalam keberagaman pendapat. “Kita semua memiliki peran untuk saling memahami dan saling menguatkan. Perbedaan adalah warna yang memperindah kehidupan, bukan untuk diperdebatkan,” katanya penuh harap.
Di media sosial, pernyataan Luqi juga mengundang diskusi yang mulai berbalik arah menjadi ajakan untuk memahami satu sama lain. Banyak warganet yang menekankan pentingnya menjaga tutur kata dengan santun, khususnya bagi pejabat publik. Namun, mereka juga menghargai itikad baik Luqi untuk meminta maaf dan memperbaiki situasi.
Dengan langkah klarifikasi dan ajakan harmoni yang ia suarakan, Luqi berharap insiden ini dapat ditutup dengan penuh kebijaksanaan. “Mari kita saling menguatkan, karena dari kesalahan kita bisa belajar, dari maaf kita bisa memperbaiki, dan dari kebersamaan kita bisa melangkah maju,” ungkapnya dengan penuh keyakinan.
Polemik ini menjadi pengingat penting bahwa kata adalah kekuatan yang harus digunakan dengan bijak. Respons Luqi yang cepat dan tulus memberikan harapan bahwa bahkan dalam kesalahan, harmoni dapat tercipta jika dihadapi dengan hati yang terbuka. ***